Saya menulis artikel ini setelah menyelesaikan sebuah kursus berjudul ‘Guy Kawasaki’s The Art of Evangelism’ di platform Udemy. Menurut Guy Kawasaki, Evangelism merupakan proses menjual mimpi dan meyakinkan orang terhadap mimpi tersebut. Guy merupakan software evangelist kedua di Macintosh division pada tahun 1980-an. Tugasnya adalah menyebarkan informasi (berita baik) mengenai peran dan dampak Macintosh dalam meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih kreatif dan lebih produktif.
Di artikel ini, saya tidak ingin bercerita mengenai Evangelism. Saya tertarik dengan salah satu frase Guy pada kursus tersebut yang menyebutkan platform seperti Udemy itu democratize knowledge (mendemokrasikan pengetahuan), selain dia juga meyebutkan bawah platform Canva itu democratize design, mengingat dia sekarang merupakan Chief of Evangelist dari Canva. Mengutip dari kamus Oxford, ‘democratize‘ memiliki arti ‘make (something) accessible to everyone’ atau membuat sesuatu menjadi dapat diakses atau diperoleh oleh siapapun.
Statement ini kemudian menggelitik saya. Alasan saya bergabung dengan Udemy dua tahun yang lalu itu dikarenakan oleh 3 faktor utama yakni 1) Entusiasme di dunia pendidikan, 2) Keinginan bekerja di start up, dan 3) Keinginan belajar dari US-based startup. Pada waktu itu, saya tidak terlalu engaged terhadap misi Udemy, improving lives through learning (meningkatkan kualitas hidup melalui pembelajaran). Baru setelah dua tahun berkarya di Udemy, saya merasakan denyut misi organisasi ini sangat ber-resonansi dengan pernyataan Guy, “Udemy democratizes knowledge”. Udemy membuka akses pengetahuan kepada siapa saja. Misi Udemy lahir dari 3 keyakinan fundamental yakni:
- Akses ke pendidikan memiliki kekuatan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang
- Seseorang yang membutuhkan pembelajaran, tidak selamanya, memiliki akses ke kelas formal atau kelas tradisional
- Guru terbaik, tidak selamanya, ditemukan di kelas formal atau kelas tradisional
Udemy kemudian mengambil posisi untuk menjawab 3 hal di atas dengan menyediakan akses pendidikan melalui platform daring, memberikan kesempatan kepada siapapun untuk belajar, dan membuka potensi guru terbaik dari manapun untuk mengajar.
Mendobrak dogma
Seiiring dengan waktu saya berkarya bersama Udemy, saya melihat dampak yang substansial dari Udemy, baik terhadap pembelajar (learner) maupun pengajar (instructor). Udemy memberikan kesempatan kepada siapapun, benar-benar siapapun, untuk mengajar. Tidak ada persyaratan administrasi yang diwajibkan oleh Udemy. Selama konten mereka memiliki nilai edukatif dan memenuhi persyaratan kualitas Udemy, setiap orang bisa menjadi ‘guru’ untuk orang lain. Jika selama ini kita berasumsi bahwa pengajar ideal adalah seseorang yang telah melewati jenjang pendidikan tinggi, di Udemy, asumsi tersebut coba didobrak. Seorang mahasiswa bisa menjadi instruktur bagi seseorang lulusan S2. Bahkan, seseorang dengan keterbatasan akademis bisa saja mengajarkan sesuatu dengan lebih membumi dan lebih mudah dicerna.
Dipikir-pikir, ide seperti ini tergolong revolusioner. Pengetahuan relatif terasosiasi lekat dengat lembaga akademis, baik formal maupun non formal. Namun Udemy hadir untuk menciptakan sebuah ruang demokrasi yang baru untuk berbagi pengetahuan, meskipun saat ini masih tersegmentasi pada keterampilan-keterampilan profesional, essential, atau technical. Jika kita membaca kisah awal Udemy berdiri, banyak sekali penolakan yang dialami oleh para pendirinya. Pada artikel Forbes, kita bisa membaca bahwa para pendiri Udemy telah menghadapi lebih dari 200 penolakan dari para penyandang dana. Salah satu investor Edtech, Daniel Pianko, yang menyesal telah melewatkan kesempatan tersebut bahkan awalnya menyatakan ide ini terlalu gila, mengingat pendidikan daring pada saat itu didominasi oleh raksasa nirlaba terakreditasi seperti universitas.
Membaca testimoni inspirasional dari para learner menunjukan sebuah dampak istimewa yang diberikan oleh para instructor Udemy, apapun latar belakang mereka. Para pembelajar memiliki akses untuk bisa belajar dari siapapun: dari mulai mahasiswa sampai dosen bergelar Profesor di belahan dunia yang berjarak ribuan kilometer (yang bergelar dan resmi pun tetap bisa mengajar di Udemy :). Para pembelajar memiliki kesempatan untuk memahami sebuah konsep atau pengetahuan dari ‘guru’ yang paling cocok untuk mereka. Meskipun begitu, konsep atau model seperti ini juga memiliki kelemahan, misalnya isu jaminan kualitas sebuah kursus, akreditasi terhadap sebuah kursus, dan sebagainya. Sebagai respon, Udemy menghadirkan beberapa fitur seperti rating & review atau jaminan 30 uang hari kembali untuk mengisi kekurangan-kekurangan tersebut.
Saya pribadi menunjukan kekaguman terhadap platform yang memiliki porsi dalam democratize sebuah kebutuhan utama namun belum tentu dapat diakses oleh masyarakat luas. Jika perusahaan ride hailing memberikan kesempatan kepada siapapun untuk berkarya memberikan pelayanan transportasi, atau perusahaan e-commerce marketplace memberikan kesempatan kepada siapapun untuk menjadi pedagang, platform seperti Udemy memberikan kesempatan kepada siapapun untuk memberikan manfaat kepada orang lain dengan berbagi ilmu dan pengetahuan. Jelas, model atau skema keikutsertaan seperti ini tidak ada yang 100% sempurna. Masing-masing pihak, pada akhirnya, memiliki agenda sendiri yang mungkin susah dicari titik ekuilibrium-nya.
Konsep democratize knowledge ini bukan sesuatu yang baru. Banyak sekali medium atau bentuknya. Kita pernah mendengar inisiasi Indonesia Mengajar, sebuah gerakan mengajak generasi terbaik menjadi pengajar muda di pelosok Indonesia. Sebagian besar mereka, yang notabene bukan pengajar dari jalur resmi, diajak ikut serta mengambil peran aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Masih banyak bentuk democratizing knowledge lainnya. Ada sebuah platform yang memungkinkan siapa saja menjadi penulis buku dan berbagi pengetahuan mereka melalui medium buku. Bahkan media sosial seperti Facebook, Instagram, LinkedIn, Medium, atau YouTube pun mengambil porsi dalam membuat pengetahuan terbuka untuk siapa saja, meskipun platform-platform tersebut tidak spesifik hanya untuk topik pengetahuan.
Kelangsungan sistem pemerintahan demokrasi bersandar pada pengetahuan. Tanpa pengetahuan, partisipasi aktif dari masyarakat tidak akan sempurna. Asimetris pengetahuan pada pilar-pilar demokrasi akan menghasilkan sistem demokrasi yang pincang. Semoga masing-masing kita dapat mengambil porsi dalam berbagi pengetahuan.
Leave a Reply